Rabu, 14 Maret 2012

The Girls of Black Rose

GADIS MAWAR HITAM

Pagi ini ibu sibuk mempersipkan segala bawaan yang aku butuhkan di kota nanti, Ibu-lah yang sangat bersemangat dalam hal tersebut, apalagi ini menyangkut pendidikan aku. Tujuan aku ke kota tidak lain dan tidak bukan untuk melanjutkan pendidikanku. Semangat dan motivasi dari ibu memberanikanku untuk yakin bersekolah di kota.

Pukul 07.00 ibu mengantarkanku ke terminal, setelah mengecek semua bawaanku dirumah. Ibu terus memastikan mengenai barang bawaanku, “kotak itu sudah kau masukkan ke ranselmu?” tanya ibu dengan suara memastikan. “Iya ibu sayang, kotaknya sudah Nanda masukin ke ransel” dengan pasti Nanda memberi jawaban. Tak lama berselang bus tujuan Denpasar-Bali siap berangkat. Aku pun pamitan kepada ibu,tiba-tiba air mataku terpancing ketika aku harus meninggalkannya. Aku tidak tega meniggalkan ibu seorang diri dikampung, tapi ini demi cita-cita dan harapan ibu yang ingin melihatku menjadi orang sukses. Aku mencoba untuk menahan air mata agar tak jatuh, tetapi kasih sayang ibu yang tulus tak bisa terpungkiri. “Nanda, hati-hati yah nak, semoga kamu sukse disana”, suara yang merupakan semangat hidupku, suara ibuku.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 6 jam, akhirnya aku tiba di tempat tujuan. Aroma kemenyan khas Bali seolah menyapaku di sore hari itu. Deruan ombak dari pantai yang super duper terkenal “Pantai Kuta”.tersenyum melihat kedatanganku di kota seni tersebut. Bus yang aku tumpangi dari kampung membawaku ke papan kehidupanku selama berada di Bali (rumah kost-kostan). Kost-kostan yang aku tempati tidak jauh dari kampus yang selama ini aku idam-idamkan.

Tak cukup waktu yang lama untukku berbaur dengan nuansa kota Bali. Aroma seniman yang kental memberikan semangat baru dalam darahku Tapi, semuanya itu tak sebanding dengan Aroma spirit ibuku tersayang. Menikmati nuansa malam hari di kota Bali, memebuatku tiba-tiba teringat oleh ibu, ibu sedang apa yah? apakah ia sudah makan?. Ingin rasanya aku menginformasikan kepada ibu bahwa aku telah tiba tapi beginilah keadaannya, di kampong belum ada jalur telpon yang masuk. Aku hanya bias member tahu ibu lewat doa, semoga tuhan menyampaikan pada ibu.

Sinar matahari pagi Bali sungguh berbeda dengan suasana kampong, pagi ini kali pertama aku bangun tanpa menatap wajah sang motivatorku (ibu). Setelah berkemas dan merapikan diri aku berangkat ke kampus dengan berjalan kaki sambil membawa tas cat lukis satu set yang dibelikan ibu di toko Khong Jhie. Tak cukup 30 menit aku sampai di gerbang kampus tercinta. Perasaanku bergetar saat ku injakkan kaki di gerbang kampus. Ku langkahkan kaki menuju kantor untuk pendaftaran ulang siswa baru, seketika mataku tertuju pada satu lukisan yang terbingkai megah di tengah ruang direktur utama. lukisan itu seakan berbicara kepadaku tentang sebuah kenyataan yang pernah terjadi, tetapi menurutku itu hanya ilusinasiku yang terlalu cinta akan seni lukis.

“SENI LUKIS” yah.. itulah keahlian yang kumiliki sebagai anak kampung yang mencoba berkarya di kota besar. Dengan keahlian itu aku harap bisa memberikan kebahagiaan pada ibuku. Aku bergegas menuju kantor administrasi untuk daftar ulang. Aku tidak mau semuanya kacau hanya karena aku memandangi mawar hitam yang terpasang di ruangan direktur utama.

Hari-hari pun ku lalaui dengan terus giat belajar dan berlatih, tak terasa lima tahun telah ku jalani di kota Bali. Aku berharap di kampung telah mengalami kemajuan tentang hal komunikasi, tapi ternyata waktu lima tahun tak juga berpengaruh, kampung yah tetap saja kampung. Begitulah kata beberapa orang kota.

Tak lama lagi aku akan menyelesaikan study-ku yang pertama dan akan ku persembahkan kepada ibu. Ku kirimkan surat kepada ibu di kampung, bahwa tak lama lagi aku akan pulang berpakaian toga dan membawaknmu ijazah yang bertuliskan kampus Art ternama di Bali. Aku sangat berharap ibu membalas surutku. Tak cukup seminggu, ternyata pak post memberikanku surat yang bertuliskan dari kampung. Tak sabar aku membaca surat balasan dari ibu, seketika perasaanku berubah menjadi tak tenang ketika ku lihat tulisan di kertas itu bukan tulisan ibu. Ternyata perasaanku benar, kondisi sedang agak kurang baik, ibu sakit-sakitan di kampung. Aku harus kembali ke kampung tapi besok adalah ujian terakhir, jika aku tak ikut ujian itu artinya segala harapan ibu aku sia-siakan, tapi bagaimana dengan kondisi ibu di kampong? Aku sangat mencemaskannya. Hanya lewat doa aku mengirimkan rasa rinduku yang terdalam kepadanya. Setidaknya aku lebih tenang masih ada tetangga yang mau memperhatikan kondisi ibu. Demi ibu aku akan menjalani ujian akhir ini dengan nilai sempurna.

Dengan segala persipan aku siap menjalankan ujian hari ini. Ku langkahkan kaki dengan pasti menuju ruang direktur utama yang selalu membuatku berdebar ketika melihat lukisan mawar hitam yang berada di dinding ruangannya. Entah apa yang terjadi, diselah ruang tunggu untuk bertemu direktur, tiba-tiba aku teringat perkataan ibu saat di terminal ”apakah kotak itu sudah kau masukkan ke ranselmu?”. Rasa penasaran semakin membara diperasaanku.”Mengapa aku tak pernah membuka kotak itu?” tanyaku dalam hati. Ah,,, mungkin aku terlalu rindu pada ibu, sihingga aku terus dibayangi segala perkataanya. Aku harus fokus untuk ujian hari ini. Alhasil setelah berjam-jam menunggu untuk masuk ke ruangan direktur utama, ternyata ujian di tunda lima hari kedepan, ini artinya aku masih membutuhkan lima hari lagi untuk bertemu ibu. Aku sangat merindukannya tuhan, berikan dia kekuatan.

Waktu lima hari kugunakan semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang sempurna. Tepat, sehari sebelum ujian, aku mendapatkan surat dari kampong, ternyata penyakit ibu semakin parah dan harus di rawat ke rumah sakit. “Oh tuhan,,, bagaimana aku membantu ibu?”. Persaanku bercampu tak karuan setelah ,membaca surat itu. Ibu-ujian-ibu-ujian-ibu-ujian-ibuuuuu….., perasaan itu terbawah sampai ke mimpi dan membuatku tak bias tidur semalaman. Tiba-tiba aku teringat dengan kotak yang disebut ibu, dengan penuh rasa penasaran aku membuka kotak itu dan, ternyata didalamnya terdapat berbagai macam cat air dan kuas yang beraneka macam. Kotak itu seketika memberikan kelegahan bagiku tentang ibu, ternyata ibu senang juga melukis.

Tanggal 24 mei 2008, ujian akhir dilanjutkan. Aku memasuki direktur dengan membawa kotak cat air milik ibu. Pandangan pak direktur langsung menuju ke kotak yang aku bawah. “kotak apaan itu?” Tanya pak direktur. “ini kotak cat air milik ibu saya,pak” jawabku. “boleh aku melihatnya?”pintah pak direktur. Tanpa ragu aku memberikan kotak itu kepada pak direktur. Mataku terus terpanah akan keunikan lukisan itu sedangkan Pak direktur dengan asyik menggeledah kotak milik ibu . seketika ruangan hening, pak direktur tercengang dan menanyaiku tentang keadaan ibu, “Apakah ibumu sehat-sehat saja?”. Aku heran ketika pak direktur bertanya seperti itu, apakah pak direktur teman ibuku?atau keluarga ibuku?. Tidak, ini tidak mungkin. sejak lahir ibu di kampung dan mana mungkin seorang direktur mengenal orang kampung. Tapi, aku tetap menjawab pertanyaan direktur mengenai ibu, “ibuku sedang dalam kondisi parah, ibu sakit-sakitan di kampung dan aku tidak punya biaya untuk mengirimnya ke rumah sakit” jelas kataku. Belum sempat pak direktur menyambungi ceritaku aku malah bertanya duluan kepadanya “Kalau boleh nanya, bapak kenal sama ibu saya?”. “Ibumu adalah seseorang yang selama ini di cari-cari oleh kampus ini” jawab pak direktur. Rasa khawatir timbul seketika ketika direktur berkata demikian.

“Apakah kamu tahu siapa pelukis mawar hitam yang terpajang di dinding ini? Apakah kamu tahu kalau lukisan ini telah ditawar ratusan dolar oleh seniman mancanegara?”, Tanya pak direktur. Aku semakin tidak mengerti, mengapa pak direktur mencari ibu? dan mengapa ia tiba-tiba menanyaiku tentang mawar hitam yang selalu membuatku penasaran?.
“Kamu tahu, ibumu adalah pelukis mawar hitam yang ada di atas dinding itu” kata direktur. “Dari mana bapak yakin kalau ibu aku seorang pelukis?” Tanyaku dengan penuh kebingungan. Ternyata di bawah susunan cat air milik ibu terdapat sebuah kertas yang bertuliskan kalimat yang persis dengan kalimat yang terdapat pada lukisan mawar hitam itu.

Aku betul-betul tidak mengerti hal ini, tetapi pak direktur tetap saja meyakinkanku dan tanpa ragu ia memberiku nilai sempurna untuk ujian akhir. Ahhh….. aku bingung dengan semuanya. ditengah kebingungan tiba-tiba aku dikabarkan dengan kabar yang buruk. Paman di kampong datang menemuiku dan memberitahukan bahwa ibuku telah meniggal. Hancur segala perasaanku untuk hari ini, kenapa ibu pergi disaat aku sudah lulus? Kenapa ibu pergi di saat orang-orang diseluruh dunia baru mengenal ibu?.kenapa,kenapa,kenapa??? kesedihanku hari itu tak tertandingi oleh apapun, “aku hanya membutuhkan sang mawar hitam untuk menemani hidupku”.